
Kelapa sawit terus dituduh sebagai komoditas perusak lingkungan walaupun berbagai cara keberlanjutan telah dilakukan oleh banyak pihak dalam industri tersebut. Pertanyaannya, apakah tuduhan tersebut mempunyai alasan yang jelas dan bagaimana langkah yang harus diambil bagi pelaku industri untuk menjamin proses produksi yang berkelanjutan?
Permasalahan yang dihadapi industri kelapa sawit dalam memastikan keberlanjutan mata rantai produksi, pengolahan maupun pasokannya memang tidak sederhana, dan bahkan sangat rumit. Luasnya perkebunan kelapa sawit, banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat, tekanan ekonomi yang mendesak, Sumber Daya Manusia dengan tingkat pemahaman yang beragam, regulasi yang banyak memiliki celah, tumpang tindihnya kewenangan serta ketamakan murni manusia, hanyalah sedikit dari faktor-faktor yang merundungi industri ini.
Diakui atau tidak, deforestasi mungkin memang masih terjadi, walaupun bila kita berbicara data, pastilah jauh dari skala yang dituduhkan orang. Memang mungkin masih ada ulah sekelompok pribadi atau korporasi yang kurang bertanggung jawab yang menampar muka industri in, tetapi sebenarnya, industri ini sudah termasuk industri paling berkelanjutan dibandingkan dengan industri minyak nabati lainnya. Disinilah diperlukan kerjasama semua pihak dalam memastikan keberlanjutan industri ini.
Tetapi, realitanya, kerjasama yang diperlukan ini tidak terwujud. Sebagai komoditi yang merupakan salah satu penopang utama perekonomian negara maupun sumber kesejahteraan bagi berjuta-juta orang Indonesia, kelapa sawit belum meraih dukungan dari semua pihak dan dukungan yang adapun acapkali tergerogoti oleh lemahnya atau bahkan tiadanya koordinasi dan kerjasama di antara para pemangku kepentingannya.
Lihat saja. Jika mengingat pentingya peran kelapa sawit ini bagi kesejahteraan bangsa dan negara, masih sangat banyak warganegara yang masih menelan mentah-mentah tuduhan dan pandangan negatif terhadap komoditi beserta industrinya ini, yang kebanyakan datang dari luar. Masih banyak pemangku kepentingan yang secara sadar maupun tidak, terus memperlemah industri ini dengan kebijakan, keputusan maupun tindakan mereka.
Sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, dan juga sebagi konsumen terbesarnya pula, Indonesia kurang ikut berperan dalam menentukan arah dan keberlanjutan sektor ini di kancah internasional. Walaupun menyandang status “terbesar” dalam produksi maupun konsumsi ini, Indonesia tidak memimpin atau malah terwakili secara lemah dalam organisasi maupun forum internasional yang terkait dengan kelapa sawit.
Belum lagi bila kita ingin berbicara mengenai kontribusi kongkrit dalam bentuk sumbangan pemikiran maupun gagasan. Produsen utama kelapa sawit ini kalah jauh dengan produsen terbesar kedua.
Jadi, apakah sebenarnya yang ada dibalik lemahnya posisi Indonesia ini di kancah perkelapa sawitan dunia?
Bila kita urut siapakah pemain utama dalam industri ini di Indonesia, kita akan menemukan Pemerintah, Pengusaha Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat sendiri, termasuk para petaninya, Namun yang terakhir ini kurang berperan dan cenderung tidak terwakili.
Sebagai regulator, pemerintah seperti dimanapun didunia ini, cenderung tidak saja lamban tetapi juga reaktif, kurang antisipatif. Belum lagi kita berbicara mengenai pemerintahan di berbagai tingkatnya, di daerah dan pusat serta kewenangan mereka yang saling menggerogoti.
Pengusaha swasta, tidak bisa disalahkan, juga. Pada dasarnya mereka adalah pengusaha yang beorientasi pada laba. Dikalangan pengusaha ini terdapat pengusaha yang sepenuhnya sadar akan arti pentingya keberlanjutan dalam industri kelapa sawit ini dan dengan upaya mereka sendiri, serius bekerja untuk mencapainya,. Tetapi juga terdapat pengusaha yang kurang atau tidak memahami perlunya industri ini berkelanjutan, atau hanya berpikir pendek bagaimana mengeruk keuntungan secepatnya dari sebuah komoditi jangka panjang.
LSM juga terdiri dari berbagai spesies yang berbeda; pertama, mereka yang memang kapabel, kompeten, dan bertanggung jawab. Kedua, mereka yang kapable dan kompeten tetapi kurang berpikir secara menyeluruh. Ketiga, mereka yang tidak saja kurang kapabel dan kompeten, tetapi juga hanya bertindak menuruti hasrat untuk dapat terus hidup saja, dan mampu mengorbankan kepentingan yang lebih besar, seperti kepentingan bangsa dan negara.
Singkat kata, pemain pemain utama ini masing-masing memiliki kelemahannya yang menghalangi mereka untuk dapat bertindak sendiri dalam perjalanan industri ini kearah keberkelanjutan. Karenanya, pemain-pemain utama ini perlu bekerja sama agar dapat saling mengimbangi kelemahan dan kelebihan mereka dan juga saling mengisi hingga dapat berkontribusi secara efektif kepada pencapaian keberlanjutan industri kelapa sawit Indonesia.
Namun walaupun terdengar masuk akal, opsi ini banyak sekali rintangannya. Pertama kecurigaan diantara mereka yang tidak akah mudah dihapuskan dalam waktu singkat. Perbedaan kecepatan dalam menanggapi maupun menangani sesuatu juga menjadi masalah. Pemerintah biasanya lamban, LSM cepat dan pengusaha ditengahnya, seringkali menunggu perkembangan dahulu.
Jadi, apakah nasib masa depan industri kelapa sawit kita ini gelap, dan bahkan mungkin akan mengalami lintasan yang sama seperti halnya industri perminyakan yang kini meredup?
Mungkin satu harapan yang tersisa berada di pundak LSM. Bila LSM, yang memang bergelut dengan permasalahan sektor kelapa sawit ini sapat bersatu, mereka dapat mengambil alih tali kendali, tetapi harusdengan lebih obyektif dan mendasari tindakan mereka atas pertimbangan yang lebih lintas sektoral dan matang.
Mungkinkah LSM ini bersatu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan mereka yang sebenarnya, bukan mematikan mata pencaharian jutaan rakyat Indonesia didaerah yang kini sudah megap-megaop menghadapi dampak rendahnya minyak sawit dunia. Bekerja demi tercapainya industri kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan yang dapat menyejahterakan nusa dan bangsa tanpa mencederai lingkungan dan hak asazi manusiannya?
Merekalah yang dalam kesehariannya berkutat mengupas industri sawit Indonesia beserta kelemahan dan kelebihannya. Merekalah yang secara logis seharusnya juga mengupayakan tercapainya cita cita mereka, mencari jawaban atas kelemahan kelemahan tersebut serta berusaha menerapkannya dilapangan dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya, terutama aktor utama lainnya seperti pemerintah dan pengusaha swasta.
Merupakan kesempatan bagi gabungan LSM yang tidak bergantung kepada pemerintah, untuk memberikan substansi solusi bagi perbaikan yang diperlukan dalam industri ini. Pemerintah dapat mendukung usaha mereka ini dengan mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang sesuai sementara pihak swasta dapat berkontribusi dengah kepatuhan kepada langkah langkah yang sudah disetujui bersama serta pengadaan fasilitas maupun pelayanan yang diperlukan.
Mungkin banyak yang akan menganggap opsi seperti ini utopis, namun kenyataanya adalah bahwa pengalaman sudah menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengandalkan pemerintah maupun pihak swasta untuk bergerak cepat dan memimpin usaha menggapai keberlanjutan dalam sektor kelapa sawit ini.
Pertanyaan yang tertinggal adalah sanggupkah kita meninggalkan ego sektoral kita dan relakah kita bekerjasama untuk mencapai sesuatu bagi kebaikan kita bersama?