Sebagai penyumbang devisa terbesar, melemahnya harga minyak sawit global telah berkontribusi terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia sebesar US $ 2,5 miliar pada bulan April, atau terbesar sejak 2013, kata Biro Pusat Statistik (BPS).
BPS menggarisbawahi bahwa meskipun ekspor minyak sawit mentah (CPO) meningkat dari segi volume, namun terjadi kehilangan banyak nilai jualnya karena volatilitas harga. Data BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO Indonesia pada bulan April turun 27,86 persen dibandingkan bulan yang sama tahun lalu menjadi US $ 919 juta dari $ 1,27 miliar di bulan Maret.
“Nilai ekspor [CPO] ke beberapa negara membaik, seperti ke China, tetapi nilainya menurun di negara-negara lain seperti India, Pakistan, Bangladesh dan Mesir. Penurunan bahkan terjadi secara lebih lanjut pada tujuan Rusia dan Spanyol,” Kepala BPS Suhariyanto menyampaikan pada konferensi pers setelah pengumuman defisit neraca perdagangan.
Ekonom INDEF Bima Yudhistira mengatakan kepada The Palm Scribe, faktor campuran dari kelebihan pasokan CPO, permintaan global yang rendah terhadap minyak sawit, serta banyaknya diskriminasi terhadap minyak sawit turut mempengaruhi situasi suram saat ini. Namun, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dari perekonomian dunia yang lesu saat ini.
“Kelebihan pasokan CPO dan permintaan yang rendah harus disikapi pemerintah dengan mulai melibatkan badan usaha milik negara (BUMN) seperti Pertamina dan PLN untuk berbuat lebih banyak dengan menggunakan biofuel untuk keperluan energi. Seharusnya hal ini bisa lebih mudah karena mereka berdua berada di bawah kendali pemerintah,” Kata Bima.
Bima juga menambahkan bahwa pemerintah seharusnya sudah bersiap-siap atas melimpahnya komoditas CPO setelah booming minyak sawit di tahun 90-an yang menarik begitu banyak orang ke sektor yang sangat menguntungkan ini.
“Ini menjadi bumerang yang seharusnya bisa mereka prediksi sebelumnya,” katanya.
Menurut data dari Asosiasi Produsen Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), harga CPO rata-rata US $ 530 per metrik ton pada bulan April, sedikit meningkat dari $ 528,40 per metrik ton pada bulan Maret tetapi masih jauh lebih rendah daripada rata-rata Februari sebesar $ 556,60 per metrik ton. Ekspor CPO tahun ini juga akan tergantung pada produksi komoditas, yang naik 2 juta ton, atau 4,65 persen, dari 438 ton pada 2018.
“Pemerintah juga harus mendorong bisnis di sektor hilir, seperti oleokimia dan turunan lainnya, dan mencari negara-negara tujuan ekspor selain Uni Eropa dan China,” kata Bima, sambil menambahkan bahwa Afrika Utara adalah pasar yang berkembang dengan peluang besar untuk CPO dan turunannya.
“Seperti perkiraan IMF, situasi ekonomi global akan tetap sampai 2022, sehingga pemerintah harus bertindak sekarang dengan memberikan insentif kepada industri hilir,” kata Bima.