The Palm Scribe

Aktivis Sambut Data Perkebunan Terbaru, Ingin Tindakan Lebih Lanjut

Perkebunan Kelapa sawit dan aktivis lingkungan

Sejumlah aktivis lingkungan dan buruh pada hari Selasa (21/1) menyambut data resmi terbaru mengenai luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dua juta hektar lebih tinggi dari angka sebelumnya, namun menambahkan bahwa diperlukan tindak lanjut agar data tersebut menjadi berarti.

Ahmad Surambo, Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan data terbaru yang dikeluarkan kementerian pertanian merupakan “acuan awal” dan masih diperlukan langkah-langkah berikutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih detil.

“Peta tutupan sawit ini baik bila ditindaklanjuti dengan ground check di lapangan,” ujar Ahmad.

Ia mengatakan bahwa sebaiknya pengecekan dilapangan itu dilakukan oleh kementerian pertanian, namun ditambahkannya bahwa publik juga harus diperbolehkan memberikan masukan.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR. 020/M/12/2019 yang diterbitkan di bulan yang lalu, mencantumkan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,381 juta hektar di 26 dari 34 propinsi yang ada. Angka resmi sebelumnya berada pada 14,3 juta hektar.

Angka yang baru, yang didasarkan atas gambar satelit, memperlihatkan bahwa Riau merupakan propinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas yaitu 3,38 juta hektar. Sumatra Utara berada di urutan kedua dengan 2,079 juta hektar, diikuti kemudian oleh Kalimantan Barat dengan 1,807 juta hektar, Kalimantan Tengah dengan 1,78 juta hektar dan Sumatra Selatan dengan 1,47 juta hektar.

Marselinus Andri, yang mengepalai departemen advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan bahwa data luasan ini terkait dengan kepastian usaha sawit di semua wilayah perkebunan sawit tetapi masih perlu dipertajam lagi.

“Kedepan mestinya data tutupan sawit ini perlu memperjelas terkait mana-mana sawit milik perusahaan dan sawit rakyat,” ujar Marselinus.

Ia melanjutkan bahwa khususnya untuk sawit rakyat, perlu diatasi melalui pendataan dan pemetaan, masalah-masalah seperti legalitas lahan (sertifikat) dan usahanya (STDB) dan problem kebun sawit dalam kawasan hutan, sehingga kebun-kebun tersebut teridentifikasi kepemilikannya, aspek legal, penggunaan bibit dan lain lain.

“Ini penting karena data ini akan menjadi basis baik bagi kebijakan maupun program dari pemerintah untuk sawit rakyat,” Marselinus mengatakan. Ia mencontohkan masalah penyelesaian legalitas, Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mandatory, program replanting dan progam pemberdayaan lainnya.

Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia mengatakan bahwa data luasan terbaru ini menjadi baseline untuk implementasi moratorium sawit, sehingga perlu identifikasi lebih lanjut mengenai penguasaan lahannya.

Perlu diketahui mana lahan perkebunan korporasi, milik petani plasma dan juga petani swadaya.

“Dari lokasinya tentu bisa juga dianalisis keterkaitannya dengan kawasan hutan, tata ruang dan juga wilayah masyarakat adat dan mengidentifikasi persoalannya,” tambahnya.

“Data ini juga bisa menjawab apakah, sawit penyebab deforestasi atau tidak,” katanya lebih lanjut.

Soelthon juga mengemukakan harapannya bahwa data spasial ini (shapefile) terbuka buat publik, sehingga menjadi referensi yang terpercaya. “Apabila aksesnya hanya dibatasi untuk pemerintah saja, tindak lanjut dan pemanfaatan data ini tidak akan bisa diuji oleh publik akuntabilitasnya.”

Ahmad juga memiliki harapan serupa, bahwa datanya, termasuk dalam format shapefile, harus terbuka bagi publik.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri Perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This