Menjelang Hari Buruh Internasional pada tanggal 1 Mei 2018, sejumlah aktivis perkebunan menyerukan agar pemerintah memberikan perhatian dan perlindungan hukum bagi buruh perkebunan sawit, yang banyak menyumbang devisa kepada negara.
“Perlu ada regulasi yang menampung aspirasi buruh dan memberikan mereka perlindungan,” Marcelinus Andry, ketua Ketua Departemen Advokasi Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan kepada The Palm Scribe.
Andry mengatakan mayoritas petani kelapa sawit Indonesia adalah buruh dan buruh petani mandiri dengan lahan kecil and mereka memang diperlakukan oleh perusahaan kelapa sawit sebagai buruh saja, bukan mitra.

Ia menyebutkan bahwa walaupun kelapa sawit itu menyumbangkan devisa yang besar kepada negara, para buruh petaninya tetap menerima upah murah, perlakuan buruk dan semena-mena, dan seringkali tidak menerima kontrak kerja bila mereka buruh lepas harian.
Tidak terdapat perhitungan pasti mengenai jumlah buruh sawit di Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit pada tahun lalu menyebutkan ada16 juta buruh sementara Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) menyebutkan sekitar 11 juta, 70 persen dari mereka buruh lepas harian atau buruh kontrak.
SPKS, menurut Andry, juga akan menyerukan agar kemitraan antara perusahaan dan petani kelapa sawit benar benar berupa kemitraan dan bukan perusahaan memposisikan diri mereka lebih tinggi dari petaninya dan melihat petani hanya sekedar sebagai buruh.
“Ini memerlukan peran dan tangung jawab dari kedua belah pihak, perusahaan dan petani,” ujarnya.
Sementara itu, Natal Sidabutar, Sekretaris Jenderal Serbundo, juga mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur soal buruh perkebunan.
“Peraturan khusus ini perlu untuk mengatur berbagai soal buruh perkebunan, termasuk, upah, termasuk hak-hak buruh, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya, alat alat kerja dan sebagainya,” Sidabutar mengatakan kepada The Palm Scribe.
Sidabutar mengatakan bahwa masih banyak praktek eksploitasi buruh di perkebunan, seperti target kerja tidak manusiawi, upah murah, kondisi dan peralatan kerja yang kurang, dan hubungan kerja yang rentan.
Ia mengatakan bahwa upah buruh perkebunan masih sangat rendah dan biasanya ditentukan sepihak oleh perusahaan.
“Bahkan dalam penetapan upah oleh pemerintah, melalui Permennakertrans13-2012 tentang Kebutuhan Hidup Layak, menggunakan ukuran asupan kalori 3.000 kilo kalori per hari, padahal bagi buruh perkebuanan, terutama buruh kelapa sawit, mereka mengeluarkan jauh lebih banyak kalori dalam seharinya,” Sidabutar mengatakan.
Ia mengatakan buruh kelapa sawit, harus berjalan menjelajahi paling tidak lima sampai tujuh hektar perkebunan seharinya, harus mengangkut buah tandan yang berat dan sebagainya, hingga membutuhkan bahkan sampai tiga kali lipat 3.000 kilo kalori per hari .
Sidabutar menambahkan bahwa para buruh ini juga tidak mendapatkan transportasi atau uang pengganti transportasi untuk menuju ke perkebunan dari rumah mereka.
“Yang juga akan kami minta kepada pemerintah adalah bagaimana Undang Undang nomer 21 tahun 2000 tentang serikat buruh, dapat diimplementasikan dengan baik, karena kenyataannya, pada prakteknya di lapangan, buruh sering diberangus hak berserikatnya, sering dihambat,” ujarnya.
Soal peraturan untuk memberikan perlindungan bagi buruh juga merupakan permintaan dari Koalisi Buruh Sawit Indonesia.
Dalam seubah diskusinya menjelang hari buruh, Koalisi ini menyerukan aga pemerintah “melindungi, memenuhi dan menghargai secara penuh hak-hak dasar buruh perkebunan kelapa sawit, salah satunya melalui pengadaan peraturan perundang-undangan khusus untuk buruh perkebunan kelapa sawit, “ ujar Sidabutar.
Organisasi yang menaungi sejumlah serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil ini juga meminta agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja di Perkebunan.
Sidabutar mengatakan kedua konvensi ini mengatur antara lain berbagai hak sosial buruh perkebunan antara lain seperti keterlibatan perekrutan pekerja migran, kontrak kerja, upah, libur dan cuti tahunan yang dibayar, istirahat mingguan, perawatan kesehatan, kompensasi pekerja, kebebasan berserikat, dan perumahan.
Koalisi juga menyerukan agar pemerintah melakukan penegakan hukum dan penindakan yang tegas terhadap perusahaan yang melanggar hak-hak buruh sawit.
Minyak Kelapa sawit dan turunannya merupakan penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Ekspor minyak Kelapa sawit menyumbangkan hamper $23 milar di tahun 2017, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), atau meningkat 26 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kenapa karyawan BUMN perkebunan tidak pernah ikut campur dalam aktivitas serikat buruh?