Agus Sari (51 tahun) bukan nama baru di ranah lingkungan hidup. Sebelum menduduki kursi jabatannya sekarang sebagai CEO di Landscape Indonesia, ia pernah menjadi penasihat senior UNDP dan Wakil Perencanaan dan Keuangan pada REDD+.

Agus salah satu orang yang tepat untuk berbicara tentang lingkungan dan pengelolaan lanskap keberlanjutan (Landscape Approach). Pendekatan lanskap adalah topik utama wacana kebijakan nasional dan internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Lanskap berarti daerah luas yang memiliki beragam ekosistem yang saling berinteraksi, seperti hutan dan sungai. Pendekatan lanskap mengumpulkan para pemangku kepentingan (penghuni ekosistem) untuk membahas dan menyepakati masalah penggunaan lahan dan air untuk memberikan keseimbangan optimal antara kepentingan masyarakat, komersial, dan konservasi.
Para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit melihat lanskap keberlanjutan sebagai cara yang efisien untuk melaksanakan tindakan yang nyata di lapangan dan menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan dari manusia, alam, dan kesejahteraan. Tujuan pendekatan lanskap adalah untuk mendapatkan perhatian di industri kelapa sawit dan mengembangkan strategi ekonomi hijau dan pembangunan yang inklusif.
Pendekatan lanskap merupakan upaya kolaborasi antara beberapa pihak untuk melaksanakan konservasi pada tingkat lanskap. Metode ini ini biasanya dipimpin oleh organisasi atau lembaga, bersama dengan mitra lainnya seperti LSM, pelaku sektor swasta dan instansi pemerintah. Dengan kolaborasi yang harmonis, kelompok dengan perspektif yang berbeda dapat mengubah kelapa sawit, tanaman minyak paling efisien di dunia, menjadi model pembangunan berkelanjutan.

Agus, lahir di Jakarta, 2 Agustus 1966, adalah lulusan Universitas California di Berkeley, bidang studi Energi dan Sumber Daya. Agus mempunyai pandangan yang sejalan dengan konsep pendekatan baru di industri kelapa sawit itu. Sawit memang salah satu industri yang menarik perhatian Agus setelah dia menimba pengalaman di banyak keanggotaan organisasi lingkungan.
Menurut Agus, hingga saat ini masih banyak pihak yang menuduh industri kelapa sawit sebagai penyebab kasus-kasus lingkungan, seperti kebakaran dan kerusakan lahan. “Tuduhan ini harus kembali ditinjau, sebab sudah tidak relevan lagi,” kata Agus dalam perbincangan dengan The Palm Scribe.
“Sawit tetap menjadi komoditas unggulan. Ketika beberapa komoditas lain, seperti minyak dan batu bara yang dijual oleh Indonesia mengalami penurunan harga, sawit justru stabil harganya sampai saat ini,” ujar Agus. “Komoditas sawit tetap menjadi primadona dan dibutuhkan oleh Indonesia.”
Meskipun industri kelapa sawit selalu berada di antara kepentingan ekonomi dan lingkungan, menurut Agus tidak ada satu pihak pun yang harus dikorbankan.
“Pendekatan lanskap adalah sebuah konsep pembangunan yang cocok untuk menjawab isu negatif terhadap sawit,” kata Agus yang pernah meraih penghargaan Nobel saat menjadi anggota Intergovernmental Panel on Climate Change di Swiss pada tahun 2007.
Pendekatan lanskap, menurut Agus, juga membuka peluang untuk memelihara lingkungan dengan motif ekonomi, sehingga tidak ada yang perlu dikorbankan dalam mengembangkan sektor sawit. Pemeliharaan lingkungan juga penting untuk menjaga keberlangsungan sebuah industri di sektor agraria.
“Konservasi yang hanya mencakup lingkup lahan perkebunan saja sudah terbukti tidak efektif, karena akan menjadi co-center. Keadaan lingkungan sekitar yang ada harus dilihat secara menyeluruh demi kebaikan bersama,” kata Agus.
Menurut Agus, pendekatan lanskap juga sering disebut “pendekatan multistakeholder”. Dalam konsep ini, apabila ada salah satu pihak yang tidak menjalankan perannya dengan baik, maka “pendekatan lanskap” tidak akan berjalan dengan baik.
Hanya saja, tentu tidak mudah menerapkan pendekatan lanskap ini di industri kelapa sawit. “Waktu adalah persoalan utama pendekatan ini,” kata Agus.
Agus menjelaskan bahwa belum semua pemangku amanah dapat menerapkan pendekatan ini, karena hasilnya baru dapat dilihat dan diukur dalam jangka waktu yang panjang, sehingga akan memakan biaya yang besar. “Ini ongkos untuk menjaga keberlangsungan industri dan lingkungan secara bersamaan,” kata Agus.
Tantangan lainnya adalah standarisasi. Indonesia sebenarnya menerapkan standarisasi produk sawit untuk menjaga kualitas dari produksi dan menegakkan komitmet berkelanjutan, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
Semua sertifikasi tersebut hanya berpengaruh besar terhadap pasar ekspor, sementara untuk pasar dalam negeri sertifikasi tersebut belum terlalu diperhatikan. Akibatnya, para pengelola perkebunan kelapa sawit masih kerap dituduh melanggar standarisasi dan ujungnya mencoreng citra sawit itu yang dianggap berdampak negatif pada lingkungan.
Memang bukan berarti sebagian besar pengelola perkebunan sawit tidak memenuhi standarisasi yang ada. Standarisasi dan pendekatan lanskap sudah diterapkan beberapa perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia, seperti Jambi, Kalimantan, dan Sumatra Selatan yang memang menjadi daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia.
“Pada titik inilah peran pemerintah diperlukan sebagai regulator, diperlukan adanya sanksi tegas terhadap pengelola perkebunan sawit yang melanggar aturan tidak hanya karena alasan produksi, melainkan pemeliharaan lingkungan,” ujar Agus.
Kesadaran masyarakat, menurut Agus, juga perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat mengetahui produk sawit mana yang telah menjalani keseluruhan proses produksi dengan baik dan dapat memilihnya.