The Palm Scribe

Agnes Safford: Dana Desa Untuk Keberlanjutan Petani Sawit Indonesia

Dana desa yang besarnya triliunan Rupiah setiap tahun, merupakan sumber yang masih belum maksimal dimanfaatkan untuk membantu Indonesia dalam menarik petani rakyat ke dalam industri kelapa sawit yang sustainable (berkelanjutan).

Bagi Agnes Safford, seorang pakar proyek dan keuangan korporasi dengan pengalaman panjang di bidang kelapa sawit Indonesia, tantangan terbesar yang dihadapi para pekebun yang juga dikenal sebagai smallholder dalam menapaki budidaya sawit berkelanjutan adalah sulitnya mereka mengakses pendanaan yang sebenarnya sangat mereka butuhkan.

“Isu terbesar bagi pekebun adalah bagaimana mereka dapat memperoleh pendanaan,” Agnes mengatakan kepada The Palm Scribe dalam sebuah wawancara belum lama ini. Kurangnya pengetahuan mengenai pendanaan diantara para pekebun serta tidak adanya agunan yang dapat digunakan untuk pinjaman bank, menjadi penyebab minimnya akses mereka kepada pendanaan.

Pendanaan merupakan faktor penting agar pekebun mampu mengelola perkebunan kelapa sawit mereka secara berkelanjutan. Ia mencontohkan, dalam usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit melalui peningkatan produktivitas, tanaman para pekebun biasanya sudah melampaui masa produktif mereka atau berasal dari bibit yang kurang baik.

Solusinya adalah dengan peremajaan tanaman (replanting), namun ini tidak saja membutuhkan dana besar, petani juga akan kehilangan pendapatan dan mata pencaharian selama tanaman baru mereka belum berproduksi. Itu sebabnya, pendanaan mutlak diperlukan bagi para petani sawit.

Sebagai anggota Komite kredit dari “&Green”, sebuah inisiatif untuk mendorong keberlanjutan melalui pendanaan produksi komoditi yang bersifat inklusif, berkelanjutan dan bebas dari deforestasi, Safford berpendapat sebenarnya terdapat sebuah sumber dana tahunan pemerintah yang memiliki potensi untuk dapat mengatasi tantangan yang dihadapi pekebun dalam mengakses pendanaan.

Ia mengacu kepada dana desa yang diberikan setiap tahun kepada tiap desa di Indonesia untuk membantu mereka mencapai tujuan pembangunan desa mereka, seperti pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, maupun mutu hidup penduduk di desa.

Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan sejumlah Rp 178,5 triliun dialokasikan bagi dana desa pada tahun 2019, dimana setiap desa memiliki kewenangan yang luas untuk mengelolanya.

Data resmi juga memperlihatkan bahwa lebih dari 84 persen dana desa telah digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas fisik desa, yang pada banyak kasus ternyata tidak banyak membantu tujuan pembangunan desa tersebut. Sebanyak 6,5 persen lainnya digunakan untuk pemberdayaan ekonomi, sementara sisanya untuk kegiatan pemerintah dan urusan sosial.

“Bila anda memiliki suatu hal seperti dana desa, anda sebenarnya memiliki cara untuk menjamin pinjaman,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa desa dapat menggunakan sebagian kecil dari dana tersebut untuk membentuk semacam dana penjamin pinjaman yang bisa digunakan oleh, katakanlah, 50 petani desa yang tidak memiliki agunan sendiri.

“Nah, kalau mereka memang bagian dari desa, mengapa desa tidak dapat menjamin mereka? ini merupakan sumber dana dan anda hanya akan menggunakan persentase kecil saja,” Agnes menjelaskan. Yang masih perlu ditemukan, tambahnya, adalah sebuah model dimana para pekebun tersebut dapat terikat oleh sebuah perjanjian yang dapat disetujui mereka untuk mendapatkan jaminan tersebut.

Namun demikian, ketersediaan dana bukanlah segalanya. “Anda harus memiliki seseorang yang dapat mengerti bagaimana cara menggunakan dana ini secara produktif di desa. Dana ini harus dapat dimobilisasi dan diikutsertakan, sehingga dibutuhkan seorang pejuang yang mengerti akan hal ini,” ujarnya.

Para pejuang yang dalam bahasa ibunya disebut sebagai “champions” ini sangat penting untuk bermacam kisah sukses, walaupun menemukan pejuang tersebut juga sangat sulit.

“Saya kira perbedaan antara sebuah keberhasilan dan kegagalan bergantung kepada pejuangnya dan bagaimana dedikasinya dalam menjamin keberlangsungan usahanya, termasuk bila terjadi apa-apa, siapa yang harus meneruskan pekerjaannya,” katanya.

Para pejuang ini juga diperlukan dalam mendorong perbankan untuk mau berkecimpung dalam transaksi yang lebih kecil. Walaupun teknologi akan sangat membantu memudahkan perbankan dalam menangani kluster pekebun, pejuang masih diperlukan untuk memimpin bank dalam memasuki skala transaksi yang lebih kecil ini. Agnes mengatakan, melalui pemahaman bagaiman bisnis berjalan di Indonesia, ia yakin bahwa ketika sudah ada cerita keberhasilan dalam bidang pendanaan pekebun, pasti bank-bank lainnya akan mengekor dengan cepat.

Dana desa juga dapat digunakan untuk menangani masalah lain dalam mata rantai pasok kelapa sawit, yaitu mengambil alih peran para perantara yang sekarang ini banyak menjembatani antara pekebun dan pabrik kelapa sawit, serta mengeruk keuntungan besar dari biaya tinggi yang mereka kenakan untuk pelayanan mereka tersebut.

Para perantara ini sangat populer di sektor kelapa sawit karena pabrik biasanya membutuhkan beberapa hari sampai beberapa minggu untuk membayar tandan buah segar yang mereka beli dari pekebun. Sementara, banyak para perantara yang memarkir truk mereka di depan gerbang pabrik sambil menawarkan uang tunai bagi pembelian, walaupun harga yang ditawarkan sangat rendah. Petani yang biasanya selalu butuh uang, biasanya akan memilih untuk menggunakan jasa mereka.

Tidak hanya membeli TBS, para perantara bahkan juga menawarkan bibit, pupuk dan keperluan kebun lainnya, walaupun dengan harga tinggi. Menurut Agnes, sebagian dana desa seharusnya dapat digunakan untuk menggantikan peran para perantara ini. Atau, jika industri sawit ingin mempertahankan para perantara, mereka dapat dirangkul agar bergabung ke dalam sistim dan membantu para pekebun, bukan justru malah membebani mereka.

“Dengan cara apapun, perlu untuk memecahkan mata rantai ini dan untuk itu diperlukan insentif bagi para perantara untuk mau menjadi bagian dari sistim. Dengan kata lain, anda harus dapat meyakinkan mereka bahwa akan dapat bagian yang lebih besar lagi dari biasanya,” kata Agnes. “Pasti ada acara untuk memberikan mereka bagian atau insentif sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada cara mereka yang biasa,” tambahnya.

Menarik para pekebun kelapa sawit ke dalam keberlanjutan menjadi penting bila Indonesia menginginkan untuk mencapai sebuah industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

“Saya pikir di Indonesia, angka-angka menunjukkan bahwa pemain-pemain besar, para konglomerat, telah berhenti melakukan deforestasi. Karena itu fokus seharusnya sekarang diarahkan kepada petani kecil, para pekebun, yang sekarang menyumbangkan sekitar 40 persen dari produksi kelapa sawit di negeri ini,” Agnes mengatakan.

 

 

Share This