CEO Sawit Sumbermas Sarana (SSMS) Vallauthan Subraminam selalu antusias jika diajak berbicara tentang potensi kelapa sawit untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Valla (begitu dia biasa disapa), 62 tahun, tak mengada-ada. Dia lahir dan tumbuh di industri perkebunan, sebuah cerita menarik tentang seorang anak yang berasal dari pekerja perkebunan.
“Saya berasal dari perkebunan,” kata Valla kepada The Palms Scribe dalam sebuah wawancara di kantornya di Jakarta, tempatnya dia bekerja jika sedang berada di luar Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah, di mana perkebunan SSMS berada.
“Saya lahir di sana, tumbuh, dan belajar di sebuah perkebunan dan telah melihat secara langsung
bagaimana perkebunan mengubah banyak kehidupan menjadi lebih baik.”
Setelah menyelesaikan pendidikannya di sebuah perkebunan Malaysia, Valla terpilih sebagai pelatih yang mengajarkan cara bertahan hidup sebagai pekerja kebun di bawah Inggris. “Pada masa itu kami mendapatkan pelatihan yang sesungguhnya, tentang disiplin dan integritas.”
“Kualitas tersebut menjadi kekuatan kami dan membuat kami terus bertahan.” kata Valla.
Modal itu juga yang dia bawa ketika memutuskan pindah untuk bekerja di Indonesia, yakni setelah Valla memegang beberapa jabatan senior penting di perkebunan besar yang ada di Malaysia.
Valla mulai bekerja di SSMS pada tahun 2006, dan sepuluh tahun kemudian dia ditunjuk sebagai CEO. Selama masa kepemimpinanny di SSMS, Valla fokus pada perbaikan praktik bekerja. Usahanya diapresasiasi ketika SSMS dinobatkan sebagai salah satu Perusahaan Paling Dihormati oleh majalah Warta Ekonomi pada Mei 2017. Ia pun makin yakin membawa perusahaan berekspansi.
“Kami harus memanfaatkan secara penuh potensi yang dimiliki oleh perkebunan minyak sawit dalam hal tata kelola yang baik, dan semua orang harus berkomitmen,” kata Valla.
Industri minyak sawit sangatlah penting untuk dikembangkan lebih lanjut karena dapat juga membantu ketersediaan bahan bakar nasional, seiring makin langkanya stok minyak konvensional.
Bagaimanapun, banyak orang berpendapat bahwa ekspansi industri minyak sawit merupakan hal yang tidak terlalu baik. Kelompok pencinta lingkungan, misalnya, sering mengatakan perkembangan perkebunan minyak sawit merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan berkurangnya lahan hutan.
Valla mempunyai pendapat yang berbeda. “Pihak di luar industri perkebunan sering mengatakan banyak hal buruk terkait minyak sawit, tapi apabila kita menelaah lebih dalam permasalahannya, kita akan mengerti bahwa sawit hanyalah industri yang sangat kecil bila dibandingkan peternakan yang menggunakan padang rumput dan perkebunan penghasil minyak nabati lain, seperti kedelai dan rapeseed.”
“Perkebunan minyak sawit hanya menggunakan 1,83 persen dari total tanah subur yang ada, jadi tentunya ini sangat kecil,” kata Valla.
Efek buruk dari perkebunan minyak sawit selalu saja dibesar-besarkan oleh pihak lain yang kontra dan kurang mengerti mengenai isu tersebut. “Nyatanya, lahan perkebunan sawit relatif sangat kecil,” ujar Valla. “Namun, hasilnya jauh lebih baik dibandingkan dengan produk lain, dan kita memproduksi dengan skala produksi yang tinggi, harga produksi yang rendah, dan menyediakan lapangan pekerjaan yang besar bagi masyarakat Malaysia, Indonesia, dan negara tropis lain.
Apakah citra negatif sawit hanya rekaan para kritikus, atau ara pengelola perkebunan sawit harus melakukan sesuatu yang bertanggung jawab untuk mengubah persepsi industri mereka?
Valla mengakui bahwa beberapa kritik terhadap perkebunan sawit tidak sepenuhnya salah, tapi mereka juga harus peka terhadap situasi dan dinamika yang ada sekarang.
Sistem tebang dan bakar dalam perkebunan sudah ada sejak lama di industri ini, namun 20 tahun silam sistem ini sudah tidak digunakan. Semua pengelola besar sadar akan pentingnya lahan yang ada.
Sekarang, pengelola perkebunan besar sudah tidak mempunyai alasan untuk menerapkan sistem itu, karena lahan yang dibuka dapat digunakan untuk kepentingan lain. Stigma sistem potong dan bakar sudah menjadi momok bagii perkebunan besar dan hal ini perlu diubah dengan kerja keras para pengelola perkebunan. Hal ini tentunya tidak dilakukan semua pihak,. Pengelola perkebunan kecil dan kurang bertanggung jawab cenderung akan melakukan hal ini.
“Pengelola perkebunan kecil di Indonesia berada di posisi yang unik. Hukum mengatakan bahwa siapa pun yang mempunyai lahan kurang dari 2 hektare diperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar. Padahal seandainya ada 500 atau 1.000 pengelola perkebunan kecil membakar lahan, kerusakan yang terjadi akan sama besar dengan pembakaran oleh sebuah perkebunan. Terlebih lagi, apabila api yang berasal dari pengelola perkebunan kecil menyebar ke lahan perkebunan besar, pihak terakhir tersebut dapat disalahkan sepenuhnya.
Solusi yang dapat digunakan, ujar Valla, adalah pemerintah harus menyediakan dukungan lebih kepada pengelola perkebunan kecil dengan mengatur fasilitas di mana mereka dapat mengelola daun yang sudah gugur dari lahan mereka untuk dapat dibuah menjadi pupuk, dengan begitu mereka tidak perlu lagi membakar lahan.
Cara lain adalah meminta pengelola perkebunan besar untuk bekerja sama dengan para petani swadaya, seperti SSMS dengan petani plasma di sekitar perkebunan SSMS.
“Ini yang kami kembangkan dengan komunitas. Mereka dikelola dengan baik, tapi tetap sesuai kebijakan perusahaan dan kriteria RSPO. Para petani dikembangkan dengan baik dan berkelanjutan–tanpa pembakaran lahan–juga ditingkatkan kesejahteraannya. Kami bahkan melindungi mereka dari kebakaran karena kehidupan mereka juga merupakan tanggung jawab kami.”