Tahun 2018 mungkin akan dikenang di Indonesia sebagai tahun dimana produksi nasional minyak kelapa sawit melesat jauh diatas tingkat permintaan pasar dunia hingga menekan harga ke tingkat yang rendah sepanjang tahun.
Dari segi harga, tahun 2018 sudah dimulai dengan harga minyak pada tingkat yang sudah rendah, yaitu 2.400 ringgit Malaysia. Harga CPO terus menurun tahun ini, dan pada bulan November, harga CPO untuk kontrak Feburari 2019 melesak ke tingkat terendahnya dalam tiga tahun terakhir ini pada level 1,960 ringgit Malaysia per ton.
Rendahnya harga ini terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi secara drastis di Indonesia, negara produsen, konsumen serta eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2018 mengalami peningkatan 23 persen dari tahun sebelumnya dan mencapai angka 22,32 juta ton.
Sementara itu, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 2018 tercatat hanya mampu berada pada angka 19,96 juta ton atau turun dua persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Salah satu sebab dibalik turunnya ekspor tersebut adalah menurunnya ekspor Indonesia ke India sebesar 34 persen menjadi 2,50 juta ton dari sebelumnya 3,74 juta ton. Penurunan ini disebabkan oleh kebijakan India yang menerapkan pajak tinggi atas impor minyak kelapa sawit guna melindungi industri penyulingan dalam negeri mereka.
Beberapa negara pengimpor besar lainnya pada tahun 2018 Cina, Uni Eropa, Afrika, Bangladesh, Timur Tengah, dan Pakistan dan pemerintah kini giat mencoba mencari pasar baru bagi minyak kelapa sawitnya.
Didalam negeri, program B20 mandatory, yaitu keharusan menggunakan minyak solar dengan campuran biofuel 20 persen, menjadi fokus di tahun 2018 terutama dalam meningkatkan permintaan akan minyak kelapa sawit di dalam negeri serta mengurangi belanja impor negara.
Permintaan untuk memenuhi program B20 ini juga diharapkan dapat menaikkan hargja jual tandan buah segar kelapa sawit yang pada tahun in sempat turun dibawah Rp500 per kilogramnya.
Menurut Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, konsumsi biodiesel di Indonesia meningkat 5,4 persen dibandingkan tahun 2016.
Sementara itu realisasi produksi biodiesel nasional hanya mencapai 3,49 juta kilo liter sepanjang Januari-September 2018 dari yang ditargetkan 5,7 juta kilo liter untuk keseluruhan tahun 2018.
Direktur dari Landscape Indonesia, Agus Sari berpendapat peningkatan konsumsi biodiesel dapat meningkatkan harga minyak kelapa sawit. “Penggunaan biodisel yg meningkat di dalam negeri akan membuat availabilitynya untuk ekspor menjadi terbatas. Itu bisa membuat harga CPO naik,” ujarnya kepada The Palm Scribe.
Sari juga menilai bahwa kenaikan dari tingkat konsumsi, lebih disebabkan oleh pengaruh regulasi pemerintah bukan atas dasar keinginan pasar.
“Masalahnya, bila harga CPO naik, maka harga biodiesel juga ikut naik, dan dengan harga diesel saat ini yang cukup rendah, maka bisa jadi biodiesel menjadi lebih mahal dari diesel. Kan aneh mengganti diesel dengan biodiesel yang lebih mahal,” demikian ucapnya.
Selain kelebihan pasokan di pasaran, menurunnya harga jual kelapa sawit juga disebabkan oleh banyaknya isu negatif yang ditujukan kepada industri kelapa sawit.
Misalnya pemberitaan miring yang dilakukan oleh kebanyakan negara Uni Eropa, oleh Lembaga Swadaya Masyarakta, maupun pihak lainnya.
Direktur Council of Palm Oil Industry Producing Countries (CPOPC), Mahendra Siregar berpendapat pemberitaan miring tersebut adalah hal yang wajar. “Hal ini terjadi karena Eropa tidak memiliki sawit, tentu mereka memprioritaskan kepentingan dari produsen komoditas minyak nabati yang ada di sana,” ucapnya.
Pada tahun ini, Indonesia juga memberlakukan pemotongan sementara atas pungutan ekspor minyak kelapa sawit sebesar 100% guna mendongkrak penjualan komoditas tersebut ditengah rendahnya harga di pasaran global.
Pungutan yang dananya kemudian digunakan untuk mengembangkan perkelapa sawitan di Indonesia, termasuk pengembangan biofuel berbasis minyak kelapa sawit ini akan diberlakukan kembali bila harga tandan buah segar sudah mencapai $500 per ton kembali.
“Kebijakan dengan harga CPO (Minyak kelapa sawit mentah) yang rendah, sebenarnya banyak pihak itu rugi. Itu (pengenaan pungutan ekspor) sudah tidak bisa dilaksanakan dalam situasi ini, sampai harga membaik,” demikian ucap Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia.
Selain itu peremajaan tanaman atau replanting, dan moratorium perluasan perkebunan sawit juga menjadi salah satu fokus utama Indonesia di industri ini pada tahun 2018.
Namun, dari target peremajaan kebun kelapa sawit rakyat tahun ini yang pada awalnya 185.000 hektar, hanya tercapai 33.761 hetare (ha) pada awal Desember. Program peremajaan kebun rakyat ini terbentur kepada permasalahan legalitas tanah, akses kepada pendanaan bagi petani kecil swadaya serta ketersediaan bibit unggul.
Moratorium perluasan perkebuan kelapa sawit selama tiga tahun yang sudah berlaku sejak tanggal 19 September 2018 diharapkan dapat membendung lahan sawit baru serta menahan laju produksi yang kini sudah berlebih, serta mendorong produktivitas dan mutu buah kelapa sawit.
Direktur Jenderal Perkebunan Bambang Wahyu Dwiantoro menilai rendahnya pencapaain peremajaan kebun rakyat dikarenakan kebanyakan petani belum ingin meremajakan lahannya. “Sekarang persoalannya, petugas-petugas di kabupaten dan provinsi sedang memberi sosialisasi kepada masyarakat karena masyarakat masih sayang kebun yang masih ada hasilnya untuk direplanting,” menurutnya.
2018 bukan tahun keberuntungan industri kelapas sawit Indonesia, permasalahan kelebihan produksi, turunnya harga, serta belum efektifnya program biodiesel masih menjadi tantangan kedepannya.
“Volume CPO yang dibutuhkan untuk menyuplai biodeisel amat sangat banyak, sementara kilang biodiesel tidak ada dan ternyata belum ada investor yang berani investdi pabrik biodiesel berskala sangat besar seperti yang dibutuhkan,” ujar Agus Sari kembali.